Langsung ke konten utama

Amanah


Ketika loyalitas diuji antara amanah dengan sesuatu yang lebih menarik menimbulkan dilema yang begitu berat. Keduanya seolah bermain tarik tambang, seketika sang amanah terasa lemah dan ingin memberikan kemenangan kepada si menarik.
"Tidak!"
Biarkan dirimu berfikir sedikit, pasti otak dan hati kecilmu akan memilih amanah. Karena hati tak pernah ingin mengingkari.
Sedangkan otak, ia cerdas memikirkan sesuatu yang tepat dan sejalan.

Nah! Aku akan berbagi pengalaman tentang diriku yang ingin melalaikan amanah. Lebih tepatnya ingin lari dan bersembunyi dari kewajiban yang sudah aku iyakan sejak awal. Penyesalan memang selalu ada diakhir, aku menyesali diriku yang membuatku harus terlibat pada sebuah kewajiban.
Bermula saat aku mengambil sebuah peran dalam suatu organisasi yang ada di kampusku dengan penuh ambisi dan kesanggupan pada saat itu, sejak awal aku tahu konsekuensinya yaitu harus merelakan liburan semester yang hampir tiga bulan harus terpotong dengan kegiatan tersebut. Tak ada pikir panjang, aku sudah memberitahu ibuku prihal ini.
Liburanpun tiba, reaksiku jauh lebih antusias dikarenakan akan melepas rindu bersama keluarga di kampung halaman. Momen berkumpul yang sejak satu tahun ini hanya aku rasakan pada saat libur semester saja. Aku terbuai dengan liburan ini, tak ingin rasanya kembali kerutinitasku. Apalagi memikirkan sebuah amanah yang telah aku ambil.
Aku tenggelam dalam kasih sayang ibuku, saudaraku, keponakanku, keluargaku setiap waktu sehingga berat rasanya untuk segera pergi. Apalagi ibuku, aku ingin berlama-lama bersama beliau. Menatap senyum diwajahnya, mencicipi masakannya, mendengar cerita dan tawanya, serta segala tentang beliau. Aku tak ingin kembali ya Allah, biarkan aku menghabiskan waktu lebih lama bersama beliau pada liburanku ini.

Hati memang sulit untuk mengingkari, aku terus terfikir akan amanah itu. Seperti ada terikan "pengecut kamu!" Dalam benakku. Liburanku mulai terasa tak nikmat, waktu berjalan semakin cepat seolah segera membawaku pada waktu harus kembali ke kampus untuk memenuhi kewajiban.
Yah, aku berfikir diriku harus lebih lunak dan tidak boleh egois. Memang sesuatu yang memberi kenyamanan sulit untuk ditinggalkan, jika aku tak memaksa diri mungkin aku tak akan pernah siap untuk memikul amanah tersebut. Toh cepat atau lambat aku pasti kembali, bedanya jika aku pergi lebih cepat tentunya ada kemalasan yang akan berguguran, mendapat kepercayaan untuk berorganisasi, pengalaman, dan tentunya niat awal bisa terlaksana.
Kembali kubaca e-mail tentang penerimaan diriku sebagai anggota dari kegiatan ini.

"Amanah tidak akan salah memilih pundak"

Tulisan yang membuatku semangat dan sedikit lebih siap.
Amanah itu percaya padaku, jadi apa alasanku harus lari ?
Jika kerinduanku pada ibu dan keluargaku menjadi sebab aku tak siap kembali. Maka akan aku limpahkan pada yang maha Kuasa, aku memohon untuk menjaganya. Aku titipkan keluargaku pada-Mu ya Rabb...

Selesai~

Wah panjang ternyata hehe, maaf kalau terlalu berlebihan. Semangat untuk kita semua, salam dari anak rantauan.

Pesan: Amanah itu harus kita jaga, kita semua sanggup dan kita semua mendapat kepercayaan.

Sekian :)



Komentar