"Amaqmu ini sudah lelah, bila kematian datang. Amaq ikhlas…” (Ayahmu ini sudah lelah, bila kematian datang. Ayah ikhlas…) Sebenarnya berat bila harus menceritakan hal ini, akan menguras sesak didada. Harus memaksa diri untuk menggali memori tentang Beliau, memutarbalikan semua kenangan yang mungkin tidak akan dapat selesai hanya dalam sebuah tulisan. Yang Aku tahu saat Aku menulis ini, Aku benar-benar merindukan Beliau. Semoga tenang disana wahai pahlawanku, Amaq. Amaq : Sebutan untuk ayah Inaq : Sebutan untuk ibu *** Hubungan anak perempuan dengan ayahnya pastilah sangat dekat, begitu juga Aku dan Amaq. Sebagai anak bungsu mungkin memang pantas Aku dikatakan sebagai anak yang paling dimanjakan dan dipenuhi semua kemauanku oleh Amaq. Tidak pernah apa yang kuinginkan tidak ia kabulkan, yaaa paling tidak hadiahnya telat-telat sebentar. Saat Inaq memarahikupun Beliaulah yang selalu membela. Bahkan sampai balik mengingatkan Inaq kalau tidak boleh terlalu sering membentak ana
Ketika loyalitas diuji antara amanah dengan sesuatu yang lebih menarik menimbulkan dilema yang begitu berat. Keduanya seolah bermain tarik tambang, seketika sang amanah terasa lemah dan ingin memberikan kemenangan kepada si menarik. "Tidak!" Biarkan dirimu berfikir sedikit, pasti otak dan hati kecilmu akan memilih amanah. Karena hati tak pernah ingin mengingkari. Sedangkan otak, ia cerdas memikirkan sesuatu yang tepat dan sejalan. Nah! Aku akan berbagi pengalaman tentang diriku yang ingin melalaikan amanah. Lebih tepatnya ingin lari dan bersembunyi dari kewajiban yang sudah aku iyakan sejak awal. Penyesalan memang selalu ada diakhir, aku menyesali diriku yang membuatku harus terlibat pada sebuah kewajiban. Bermula saat aku mengambil sebuah peran dalam suatu organisasi yang ada di kampusku dengan penuh ambisi dan kesanggupan pada saat itu, sejak awal aku tahu konsekuensinya yaitu harus merelakan liburan semester yang hampir tiga bulan harus terpotong dengan kegiatan t